Sunday, March 1, 2009

Revitalisasi Politeknik

Jakarta, kompas - Guna memperkuat kompetensi keahlian lulusan politeknik agar siap masuk ke pasar kerja, pemerintah mendorong revitalisasi semua politeknik negeri. Fokusnya terutama pada penggantian peralatan praktik yang sudah usang dan memperkuat kerja sama dengan dunia industri.”Revitalisasi itu difokuskan di 26 politeknik negeri. Peralatan praktik sudah banyak yang tua, berumur 20-25 tahun. Itu perlu diganti. Pemerintah memang memberi bantuan dana, tetapi tentu belum cukup. Karena itu, politeknik didorong untuk memperkuat kerja sama dengan industri agar bisa memperkuat kompetensi keahlian di bidang mereka,” kata Fasli Djalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, di Jakarta, Sabtu (7/6).

Politeknik juga didorong untuk tak hanya memberikan ijazah kelulusan, tetapi juga memberikan sertifikat-sertifikat kompetensi di bidangnya sehingga mahasiswa cepat terserap dunia kerja. Selain itu, untuk peningkatan kualitas dan pencitraan politeknik yang lebih baik, penerimaan mahasiswa baru juga diminta tidak asal-asalan sebab justru akan menghasilkan lulusan yang tidak siap bersaing di dunia kerja.


Pemerintah daerah
Saat ini perluasan politeknik telah dilakukan bekerja sama dengan pemerintah daerah. Lima politeknik sedang dibangun dan sembilan lainnya dalam tahap persiapan. Pembiayaannya, dari pusat dan daerah 70:30 dari total kebutuhan dana membangun politeknik,” kata Fasli. Biaya pembangunan politeknik bisa tiga hingga lima kali biaya pembangunan dan operasional universitas. Akibatnya, tidak banyak politeknik berkualitas baik. Dari penelitian JICA (Badan Kerja Sama Internasional Jepang) pada 2003, setidaknya butuh 150 politeknik berkualitas untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia bagi pembangunan.

Ketua Asosiasi Politeknik Indonesia (ASPI) M Iskandar Nataamijaya mengatakan, jumlah mahasiswa politeknik sekitar 120.000, tersebar di 26 politeknik negeri dan sekitar 110 swasta. Politeknik masih menjadi pilihan kedua setelah universitas karena hanya memberikan diploma. ”Di masyarakat, gelar masih diminati. Padahal, seharusnya yang dipentingkan ialah lulusan bekerja sesuai potensi, baik sebagai pekerja maupun pengusaha,” kata Iskandar.Menurut dia, pihak luar negeri ada yang memberi bantuan besar, seperti Pemerintah Belanda. Dalam empat tahun (2006-2009) Belanda membantu dana 2,2 juta euro—setara Rp 35,2 miliar—dan pendampingan.

Pendidikan vokasional
Melihat persoalan yang dihadapi Indonesia, Ketua Bidang Organisasi dan Evaluasi Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko yang dihubungi Minggu mengatakan, Indonesia lebih membutuhkan tenaga ahli dan terampil agar bisa lebih produktif dan memacu pertumbuhan ekonomi. ”Melihat struktur persoalan di Indonesia saat ini, terus terang yang diperlukan adalah politeknik. Tingkat pengangguran sudah demikian tinggi. Maka, pendidikan yang berbasis vokasional lebih tepat,” ujarnya.

Ia menyambut baik kebijakan Depdiknas mendorong pertumbuhan SMK ketimbang SMA. Sayangnya belum diimbangi dengan sosialisasi memadai. Selama ini masih muncul pandangan bahwa sekolah vokasional termasuk ”golongan dua”.
kompas Senin, 9 Juni 2008

No comments:

Post a Comment