Sunday, March 1, 2009

Revitalisasi Paradigma Pendidikan Universitas

Mengingat semakin dekatnya tahun ajaran baru, setiap universitas di negeri ini mulai berlomba-lomba mempromosikan diri, semisal dengan mendatangi beberapa sekolah menengah atas dan yang sederajat, atau melalui berbagai macam iklan dengan menawarkan beberapa agenda menarik, yang berupa pengajaran, keilmuan, fasilitas, infrastruktur kampus,
dan lain sebagainya. Semua dibikin menarik dan memikat sehingga banyak siswa yang ingin melanjutkan kuliah di universitas tersebut.Promosi yang paling berkesan bagi para siswa, terutama bagi orangtua siswa yang banyak menentukan tempat di mana anaknya harus kuliah, adalah output dari universitas tersebut yang mengumumkan langsung mendapatkan kerja dan dapat bersaing di dunia global.

Mengingat semakin dekatnya tahun ajaran baru, setiap universitas di negeri ini mulai berlomba-lomba mempromosikan diri, semisal dengan mendatangi beberapa sekolah menengah atas dan yang sederajat, atau melalui berbagai macam iklan dengan menawarkan beberapa agenda menarik, yang berupa pengajaran, keilmuan, fasilitas, infrastruktur kampus, dan lain sebagainya. Semua dibikin menarik dan memikat sehingga banyak siswa yang ingin melanjutkan kuliah di universitas tersebut.Promosi yang paling berkesan bagi para siswa, terutama bagi orangtua siswa yang banyak
menentukan tempat di mana anaknya harus kuliah, adalah output dari universitas tersebut yang mengumumkan langsung mendapatkan kerja dan dapat bersaing di dunia global.

Akan tetapi, ironisnya banyak sarjana-sarjana lulusan dari universitas yang berkobar-kobar mempromosikan diri ketika penerimaan mahasiswa baru ternyata lulusannya banyak yang menganggur, alias tidak punya pekerjaan dan karena tidak menemukan tempat kerja. Hal itu dapat diketahui dari banyaknya para penganggur lulusan universitas dalam dasawarsa terakhir ini.Jika didata, jumlah penganggur sarjana lulusan universitas setelah krisis ekonomi 1997 tidak jauh beda dengan angka pengangguran tahun 1989 dan 1995, yakni 10,93 persen pada 1989 dan 12,36 persen pada 1995. Sedangkan data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjukkan bahwa dari tahun 2000-2005 jumlah penganggur sarjana universitas cenderung mengalami pasang surut, tetapi pada 2005 data pengangguran universitas semakin melonjak.Tercatat pada tahun 2000 jumlah penganggur sarjana lulusan universitas mencapai 277.000 orang, 2001 meningkat sedikit menjadi 289.000 orang, 2002 menurun sedikit menjadi 270.000 orang, 2003 menurun lagi menjadi 245.000 orang, dan pada 2004 meningkat tajam jadi 348.000 orang, tahun 2005 lebih meningkat lagi menjadi 385.418 orang. Angka pengangguran sarjana lulusan universitas itu ditafsirkan akan mengalami peningkatan jika tidak ada pembenahan dari berbagai segi di universitas itu.

Asumsi paling mendasar yang menyebabkan banyaknya pengangguran alumni universitas adalah disebabkan oleh rendahnya mutu pendidikan universitas di negeri ini. Hal itu memang sudah diakui di kalangan internasional, seperti yang diumumkan oleh Majalah Time edisi November 2004, yang mengeluarkan suplemen Pendidikan Tinggi yang memuat
200 universitas terbaik di dunia. Tidak satu pun universitas Indonesia pada 2004 itu yang masuk dalam kategori 200 universitas terbaik di dunia. Indonesia kalah sama negara tetangganya, yaitu Malaysia dan Singapura yang masing masing punya dua universitas yang masuk seleksi.Tahun 2005 dan 2006, angin surga menerpa dunia pendidikan tinggi di Tanah Air. Situasi yang sebelumnya tidak mengenakkan itu kemudian sedikit terhapus ketika Majalah Time menerbitkan perangkingan lagi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menduduki posisi ke-56
kategori Ilmu Budaya dan Humaniora terbaik di dunia pada 2005. Setahun kemudian, masih dalam versi Majalah Time, yaitu tahun 2006, UGM menempatkan tiga program ilmu dalam 100 program terbaik di dunia. Ketiganya adalah kategori Ilmu Sosial (ranking ke- 47), kategori Ilmu Budaya dan Humaniora (ranking ke-73), dan kategori Ilmu Biomedis (ranking ke-73).

Terancam gulung tikarKendati demikian, dalam pandangan Ki Supriyoko (2006), publikasi Majalah Time belum menampakkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia berada pada jajaran "elite" pendidikan tinggi di dunia dalam ukuran konvensional maupun modern. Fakta menunjukkan masih sangat banyak lembaga perguruan tinggi yang belum
maksimal dalam memajukan mutu akademiknya, berkutat pada perkara manajerial dan pembiayaan. Bahkan, lebih dari 30 persen dari seluruh jumlah perguruan tinggi di Indonesia dewasa ini terancam gulung tikar.Dalam pandangan Agus Suwignyo (2007), yang merujuk ke salah satu pendiri Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse, bahwa banyaknya
pengangguran yang terjadi itu disebabkan oleh buramnya profil akademis dosen dan lemahnya disposisi sikap mereka. Di samping itu, menurut Agus, jika merunut pada penganut strukturalisme yang meyakini bahwa pencapaian misi sangat tergantung pada keberhasilan kerja sistem,

maka dalam konteks rendahnya mutu intelektualitas sarjana lulusan universitas itu tergantung pada sistem siklus input dan "proses" serta output-nya. Selain itu pula, pada tataran lebih abstrak, indikator kualitatif suramnya gambaran mutu universitas itu meliputi lemahnya disposisi sikap mahasiswa. Disposisi sikap ini menyangkut antara kesadaran tindakan dengan pengetahuan yang mendasari tindakan tersebut.Menurut Agus Suwignyo, hal itu dikarenakan oleh tiga faktor utama.

Pertama, pada tahap input, ada ketidaksinambungan kurikuler (curricular mismatch) pendidikan pra-universitas dengan pendidikan universitas.

Kedua, pada tahap proses, terjadi misorientasi pengelolaan pendidikan universitas. Sedangkan misorientasi pada proses pendidikan di universitas itu masih menyimpan tiga potensi masalah.Pertama, keinginan meningkatkan daya saing lulusan di dalam pasar kerja tidak disertai kajian mendalam tentang kualifikasi apa yang sesungguhnya dituntut pasar kerja dari lulusan universitas. Kedua, upaya menyemaikan ilmu-ilmu terapan kadang disertai asumsi bahwa kualifikasikualifikasi dasar keilmuan telah dimiliki mahasiswa secara merata dan pada kenyataannya belum tentu.

Ketiga,inkonsistensi praktik pengelolaan program studi dengan rumusan misi mengaburkan totalitas dan arah pendidikan universitas.Nah, dari beberapa paradoks yang telah disebutkan di atas, menuntut universitas di negeri kita dewasa ini
mampu menjawab berbagai macam tantangan globalisasi dan relevansi di tengah berbagai tuntutan perubahan zaman.

Jangan hanya pintar mengiklankan pendidikan layaknya sebuah barang komersial. Pendidikan pada saat ini, terutama di tingkat universitas, harus mampu membuktikan secara nyata output dari peserta didiknya. Bahwa mereka benar-benar mampu memberikan yang terbaik bagi dirinya, bangsa, dan negara.Jika hal itu sudah benar-benar terbukti, maka tidak mungkin pengangguran akan bertambah di tengah ramainya promosi iklan pendidikan yang akhir-akhir ini semakin membeludak menjadi sebuah iklan kosong yang hanya demi kepentingan komersial. Ironisnya, hal itu dilakukan dalam dunia pendidikan yang menginginkan kejujuran dan kemajuan bangsa.
http://www.akmi-baturaja.ac.id

No comments:

Post a Comment